Kamis, 21 April 2011

ANTOLOGI PUISI INDONESIA DI MATA PENYAIR

Bertepatan dengan perayaan Hari Bumi 22 April ini, Jakartabeat.Net merilis buku elektronik ([I]e-book[/I]) Antologi Puisi berjudul Indonesia di Mata Penyair. E-book berisi kumpulan puisi karya sejumlah penyair Indonesia, semisal Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Kirana Kejora dan lainnya ini, secara khusus mengangkat pengalaman ke-Indonesiaan para penyairnya yang berangkat dari berbagai latar belakang profesi dan suku di Indonesia.

Moh. Ghufron Cholid selaku penyunting mengatakan, e-book ini sebelumnya telah dirilis di salah satu situs penyedia e-book. "Saya juga tidak tahu kenapa belakangan ebook ini tidak bisa diakses lagi. Jadi ini merupakan terbitan kedua yang dirilis bersama Jakartabeat," ungkap Ghufron.

Tersedia untuk diakses publik, diunduh dan disebarluaskan lewat situs Jakartabeat.Net, rilisan buku ini juga terselenggara berkat kerjasama dengan Komunitas Penulis Imajinasi Sastra, atau lebih dikenal sebagai [LINK=http://kopisastra.org/]KOPI Sastra[/LINK]. Menggunakan lisensi Creative Commons, Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License, buku ini menjadi bagian dari kegiatan Festival KOPI Sastra 2011 yang bertajuk PerpustaKOPI.

Dalam keterangan resmi di situs festival ini ([LINK=http://festival.kopisastra.org/]http://festival.kopisastra.org[/LINK]), disebutkan bahwa PerpustaKOPI sendiri merupakan perpustakaan terbuka secara online yang nantinya akan terus diisi oleh siapa saja yang ingin mendokumentasikan [I]e-book [/I]buatannya di sana.

"Siapapun  berhak menerbitkan karyanya sendiri tanpa terkungkung mitos bahwa  pengarang belumlah pengarang bila karyanya tidak masuk media massa dan  diterbitkan buku. Ini sejalan dengan pandangan bahwa karya sastra  seharusnya dibebaskan dari bayang-bayang komoditi dan persentase untung  rugi," demikian pernyataan resminya.

Meski begitu, kehadiran [I]e-book [/I]tak lepas dari kritik. Bentuknya yang  virtual membuat banyak pecinta buku yang merasa kehilangan momen khas  membaca buku fisik, seperti berat dan wangi kertasnya saat dibawa,  menurunnya fokus membaca hingga aspek nostalgis lainnya.

Namun tak bisa dipungkiri, kehadiran teknologi digital semisal [I]e-book, mailing-list [/I]dan blog[I] [/I]sendiri di kalangan sastrawan Indonesia memang cukup penting, mengingat ranah digital kian menjadi media produksi dan konsumsi alternatif yang murah dan ramah  lingkungan. Terlebih lagi, peta sastra Indonesia dalam 10 tahun belakangan ini memang disemaraki oleh menguatnya fenomena sastra di situs jejaring sosial semisal kemudian.com, mediasastra.com hingga fiksimini.com.

Sumber akses ebook ini http://www.jakartabeat.net/idea/kanal-idea/buku/570-indonesia-di-mata-penyair.html semoga ebook ini bisa bermanfaat untuk umat dab bisa memperkaya khazanah sastra nusantara. Amien

Sabtu, 16 April 2011

MATERI PENULISAN KREATIF PUISI UNTUK KOMUNITAS PINTU DI KABUPATEN TEBO DALAM RANGKA PERINGATAN HARI PENDIDIKAN NASIONAL




Bersama: Dimas Arika Mihardja

 


A.   UNSUR-UNSUR PUISI
Sebagai bentuk wacana sastra, unsur-unsur yang membangun puisi berbeda dengan prosa. Unsur-unsur tersebut adalah (1) diksi (diction), (2) imaji (imagery), (3)  gaya bahasa (figurative language), dan (4) ritme dan rima (rhythm and rime) (Morris, 1964: 617). Beri kut ini aspek-aspek tersebut di berikan pen jelasan secukupnya.

Pertama, diksi. Diksi adalah seleksi kata-kata untuk mengekspresikan ide atau gagasan dan perasaan (Ahmadi, 1988: 126). Diksi yang baik adalah pemilihan kata-kata secara efektif dan tepat di dalam makna serta sesuai dengan tema, audien, dan ke jadian. Diksi juga berarti penataan, penyusunan, dan pemilahan kata-kata ke dalam susunan tertentu yang secara efektif dapat mengung-kapkan ide, gagasan, dan perasaan. Prinsip utama dalam diksi ada lah bahwa dalam pemilihan dan penempatan kata harus se suai, tepat, eko nomis, dan tegas. Misalnya, larik puisi “Aku ini binatang jalang/dari kumpulannya terbuang” (“Aku”, Chairil Anwar). Kata ‘aku’ dipandang lebih sesuai, tepat, ekonomis, dan tegas daripada kata ‘saya, beta, hamba, atau daku’, diksi ‘binatang jalang’ dipandang lebih tepat daripada “binatang liar atau buas’, dan seterusnya. 

Hal yang penting diperhatikan ten tang diksi dalam pen ciptaan puisi, menurut Ahmadi (1988: 126-127), ialah bahwa setiap kata merupa kan lambang atau simbol yang mengacu kepada sesuatu yang lain. Kata ‘aku’ dan ‘binatang jalang’ keduanya melambangkan kebebasan. Penggunaan diksi dalam puisi, menurut Aminuddin (1995:215) se cara umum memberikan gambaran berikut. Diksi dapat berupa kata dasar mau pun kata yang telah mengalami proses morfologis, dapat berupa kata yang berciri autosemantis maupun sinsemantis. 

Dalam diksi terdapat kesesuaian hubungan kata-kata yang satu dengan yang lain, baik dalam rangka pencip taan keseimbangan paduan bunyi maupun dalam penciptaan hubungan se mantisnya. Ditinjau dari aspek semantisnya, kata-kata yang digunakan oleh penyair selain merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat de notatif, juga merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat konotatif. Se cara aso si atif, kata-kata yang digunakan dapat menggambarkan kata-kata yang me miliki hubungan secara indeksial, kolokasional, sinonimi, hiponimi, an tonimi. Aspek referensial yang digunakan ber sifat transparan, kabur, ikonis, hipokonis, hanya diacu kan pada gambaran ciri semantis dasar maupun telah mengalami pemindahan dari ciri acuan semantis dasarnya. Kata-kata yang digunakan dapat memberi kesan kedaerahan, merujuk pada kata yang biasa diguna kan dalam komunikasi sehari-hari, dan dapat pula memberi kesan vulgar.

Kedua, imaji. Imaji merupakan hasil pengolahan imajinasi atau pengimajian (imagery). Imaji dapat berupa kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau ka limat. Imaji meru pakan un sur dasar yang khas dalam karya ber ben tuk puisi. Menurut Preminger (lihat Badrun, 1989) imaji adalah re­produksi dalam pikiran mengenai perasaan yang dihasilkan oleh per sepsi yang bersifat fisik, mistis, dan psikis. Fungsi imaji di dalam puisi ialah menggugah perasaan, pikiran, dan kesan mental pembaca puisi. Jenis imaji di dalam puisi bermacam-macam. Ada imaji yang berhubungan dengan indera penglihatan disebut dengan imaji lihatan (visual image). Jenis imaji yang berhubungan dengan indera pendengaran disebut imaji dengaran (auditory image). Imaji yang ber hubungan dengan indera peraba disebut imaji rabaan (tactile image). Imaji yang berhubungan dengan indera penciuman disebut dengan imaji bauan (nosey image) (Wellek dan War ren, 1979: 236-237). Nukilan bait pertama puisi “Riwayat” (Sajak-sajak Lengkap, 1961—2001:8) karya Goenawan Mohamad berikut ini terdapat berbagai macam imaji.

Gelitikkan, musim, panasmu ke usiaku
bersama matari. Dari jauh
bumi tertidur oleh nafasmu, dan oleh daun
yang amat rimbun dan amat teduh
Dan seperti mimpi
laut kian perlahan
kian perlahan

                (Goenawan Mohamad, “Riwayat”)

SEGALA pembicaraan bahasa dan unsur-unsurnya dalam penulisan puisi hakikatnya terkait dengan diksi. Diksi sebagai satu unsur yang ikut membangun keberadaan puisi berarti pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan-perasaan yang bergejolak dan menggejala dalam dirinya. Peranan diksi di dalam penulisan puisi memiliki arti penting karena kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi. Bahkan, untuk jenis puisi imajis seperti ditulis oleh Sapardi Djoko Damono, kata-kata tidak sekadar berperan sebagai sarana yang menghubugkan pembaca dengan gagasan penyair. Dalam puisi imajis, kata-kata sekaligus sebagai pendukung dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi penyair.

Dapat dikemukakan bahwa diksi merupakan esensi penulisan puisi. Pilihan kata yang tepat dan cermat dapat mengukuhkan pengalaman penyair di dalam puisi yang ditulisnya. Pilihan kata yang tepat dan cermat memungkinkan kata-kata tidak sekedar merekat dan menempel satu sama lain, tetapi kata-kata itu dinamis dan bergerak serta memberikan kesan yang hidup. Kata-kata seperti itu tidak sekadar menjadi penanda, tetapi sekaligus menjadi dunia puitik itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menulis puisi siapapun tidak boleh meremehkan atau mengabaikan unsur diksi ini. Penulis puisi tidak boleh menafikan kosakata, bahasa kiasan, bangunan imaji dan sarana retorika.

Meskipun diksi dalam penulisan puisi memiliki arti penting, Sanusi Pane pernah mengingatkan bahwa kata-kata yang dipilih dalam penulisan puisi tak serta merta menggunakan kata-kata yang rancak (indah semata), kata-kata yang pelik hanya mengejar estetika (kata-kata yang rumit hanya mengejar keindahan menurut versi penyair dan menjadi asing di mata pembaca), penyair disarankan untuk membuang segala kata yang ciuma mempermainkan mata, hanya dibaca sepintas lalu karena kata-kata itu tidak keluar dari sukma (jiwa, batin, pikiran dan perasaan) penyair. Kita simak sebuah puisi Sanusi Pane berjudul "Sajak" berikut ini

SAJAK

O, bukannya dalam kata yang rancak
kata yang pelik kebagusan sajak,
O, pujangga,buang segala kata,
yang 'kan cuma mempermainkan mata,
dan hanya dibaca selintas lalu,
karena tak keluar dari sukmamu.

Seperti matahari mencintai bumi,
memberi sinar selama-lamanya,
tidak meminta sesuatu kembali,
harus cintamu senantiasa

(Sanusi Pane, Tonggak 1, hlm. 41)

Di akhir puisinya yang berjudul "Sajak", Sanusi Pane menambahkan bahwa puisi yang baik, pilihan kata yang tepat dan cerpat di dalam puisi, memiliki substansi seperti matahari yang setia memberikan sinarnya. Matahari itu setia dan tidak meminta imbalan. Matahari makna itu hanya dapat dipahami, dimengerti dan dihayati oleh 'kecintaan' pembaca. Apa pun diksi yang dipakai oleh penyair haruslah fungsional, komunikatif, menarik perhatian, dan memendarkan makna secara abadi.

Ketiga, gaya bahasa. Gaya menurut Kamus Istilah Sastra (Zaidan, Rus tapa, Hani’ah, 1994) adalah cara pengungkapan dalam prosa atau puisi. Analisis gaya meliputi pilihan kata, majas, sarana retorika, bentuk kalimat, bentuk paragraf, dan setiap aspek pemakaian bahasa oleh penulis. Gaya ba hasa, menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984) adalah pema kaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang arti har fiahnya. Gaya bahasa yang baik menimbulkan citra tertentu di dalam pikiran pem baca puisi. Dengan kata lain, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui ba hasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepriba dian. Oleh Hartoko dan Rahmanto (1986) gaya bahasa diarti kan sebagai cara yang khas untuk mengungkap kan diri. Cara terse but meliputi setiap aspek bahasa seperti pemilihan kata-kata, peng gunaan kiasan, susunan kalimat, nada, dan sebagainya. Dengan demikian bahasa kias dalam puisi termasuk bagian dari gaya bahasa.

Ruang lingkup kajian gaya bahasa meliputi identifikasi ben tuk, ciri, unsur, hubungan antarunsur dalam wacana puisi. Dengan demikian, kajian gaya bahasa me masuki wilayah yang berkaitan dengan komponen yang hadir secara simultan, yakni wacana puisi itu sendiri. Dari wacana puisi itu lebih lanjut dikaji aspek formal yang berkaitan dengan unit-unit gaya bahasa. Ka jian unit-unit gaya ba hasa itu dimanfaat kan sebagai dasar pemilahan jenis gaya bahasa, identifikasi ciri, serta dasar dalam menafsirkan satuan-satuan pesan yang dikandungnya. Jenis gaya bahasa secara umum dibedakan menjadi gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan. Gaya bahasa tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah pe milihan dan penggunaan kata serta pemvaria sian struktur. Dalam kaitan ini, Ah madi (1991) menyatakan bahwa “gaya bahasa adalah kualitas visi, pan dangan penu lis/penutur, karena gaya bahasa mere fleksikan cara seseorang pengarang memilih dan meletakkan kata-kata dan kalimat dalam tubuh karangan”. Pe milihan dan pema kaian suatu kata sangat ditentukan oleh kemam puan penulis dalam menangkap “rasa kata” atau tingkatan makna pada kata tersebut.

Gaya bahasa, termasuk di dalamnya bahasa kias, dapat dike lompok kan menurut berbagai segi, antara lain berdasarkan struktur kalimat dan berdasarkan lang sung-tidaknya makna. Gaya bahasa yang memiliki acuan makna tidak langsung dibedakan menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasaretoris mencakup: aliterasi, asonansi, anastrof, apo fasis, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, pleo nasme, tautologi, peri frasis, prolepsis, pertanyaan retoris, koreksio, hiperbola, para doks. Gaya ba hasa kiasanmencakup: persamaan atau simile, metafora, alegori, per soni fi kasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoche, metonimi, antonomasia, hiplase, ironi, satire, antifrasis, danparanomasia.

Ahmadi (1991) mengelompokkan gaya bahasa ke dalam dua kelom pok, yakni gaya perasosiasian dan gaya penegasan. Pengelom pokan Ahmadi ini sejajar dengan kategori gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan yang dikemukakan oleh Yassin (1996). Dari ber bagai referensi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa kias sejajar dengan istilah gaya bahasa. Akhirnya, gaya bahasa dapat dikelom pokkan ke dalam tiga kategori, yakni gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, dan gaya ba hasa asosiasi (per tautan dan perulangan) (Darmawan, 1995). Penelitian ini mengacu pada klasifikasi gaya bahasa yang dilakukan oleh Darmawan. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan pemakaian gaya bahasa metafora dalam puisi “Berlayar” karya Linus Suryadi A.G.

Kesetiaan kepada hidup
hidup kepada kesetiaan
Laksana jaring-jaring ikan
dijalin lalu dikembangkan
            ( Linus Suryadi A.G., “Berlayar”)

Keempat, ritme dan rima. Ritme dan rima besar pengaruhnya dalam memperjelas makna sebuah puisi. Ritma dan rima puisi ini erat berhubungan dengan pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan tu juan (intention). Lebih lanjut, hubungan ritme dan rima dinyatakan oleh Morris, dkk., 1964: 620) “rhythm is the result of sys temati cally stressing or accenting words and sylables, whereas rime repeats similar sounds in some apparent scheme”. Dalam sastra Indone sia, khususnya puisi, ritme tidak selalu berhubungan dengan tekanan dan ak sen, melainkan pada panjang dan pendeknya tuturan, cepat dan lambatnya pembacaan, dan ditentukan oleh tipografi puisi. 
Rima dibeda kan men jadi rima awal dan rima akhir.

Contoh rima awal:
Bagaikan banjir gulung gemulung
Bagaikan topan deruh-menderuh
Demikian rasa datang semasa
Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung
Memenuhi sukma, menawan tubuh
(J.E. Tatengkeng, “Perasaan Seni” bait I)


Contoh rima akhir:

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
(Amir Hamzah, “Padamu Jua” bait I)

Berdasarkan susunannya rima dapat berupa (1) rima berang kai dengan susunan aa, bb, cc, dd …; (2) rima berselang, dengan susunan abab, cdcd…; (3) rima berpeluk dengan susunan abba, cddc.


Contoh rima berangkai dengan susunan aa, bb, cc, dd:

Di mata air di dasar kolam
Kucari jawab teka-teki alam

Di kawan awan kian kemari
Di situ juga jawab kucari

Kepada gung penjaga waktu
Kutanya jawab kebenaran tentu
(J.E. Tatengkeng, “Kucari Jawab”)

Contoh rima berselang dengan susunan abab, cdcd:

Duduk di pantai waktu senja,
Naik di rakit buaian ombak,
Sambil bercermin di air-kaca,
Lagu diayunkan lagu ombak

Lautan besar bagai bermimpi
Tiada gerak, tetap berbaring
Tapi pandang karang di tepi
Di sana ombak memecah nyaring
       (J.E. Tatengkeng, “Sepantun Laut” bait I, II)

Contoh rima berpeluk dengan susunan abba:

Perasaan siapa takkan nyala
Melihat anak berlagu dendang
Seorang sahaja berlagu dendang
Tiada berbaju buka kepala
Beginilah nasib anak gembala
Berteduh di bawah kayu nan rindang
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang ke rumah di senja kala
(M. Yamin, “Gembala”)

Riffaterre (1978:1—2) dengan tepat mengungkapkan karakteristik wacana puisi dalam ungkapan “Says one thing, means another” atau dalam ungkapan penyair Sapardi Djoko Damono dalam suatu kesempatan  “bilang begini, maksudnya begitu”. Kedua ungkapan yang dikemukakan oleh pakar sastra itu memiliki maksud bahwa puisi sebagai wacana mengungkapkan sesuatu hal dan berarti hal lain secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketidaklangsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Ketiga karakteristik ketidaklangsungan wacana puisi tersebut diterangjelaskan dalam paparan berikut ini.

Pertama, penggantian arti. Di dalam wacana puisi, pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain. Misalnya dalam puisi “Sajak Putih” karya Chairil Anwar (1959:19) berikut ini.

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah....
                            (Chairil Anwar, “”Sajak Putih”)

Bait pertama baris ke-3: Di hitam matamu kembang mawar dan melati. Kata ‘mawar’ dan ‘melati’ adalah metafora dalam baris ini, berarti yang lain, yakni sesuatu yang indah atau cinta yang murni. Secara umum, bahasa kias di dalam puisi seperti perbandingan, personifikasi, sinekdoki, dan metonimi itu biasa disebut saja dengan metafora meskipun sesungguhnya metafora itu berbeda dengan kiasan lain, memiliki sifat sendiri: metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan hal atau benda lain.

Dalam bait kedua baris pertama sepi menyanyi adalah personi-fikasi, dalam keadaan yang mesra itu tiba-tiba terasa sepi: ‘sepilah yang menyanyi’ karena mereka berdua tidak berkata-kata, suasana begitu khusuk seperti waktu malam untuk mendoa tiba. Dalam keadaan diam itu, jiwa si akulah yang beriak seperti air kolam kena angin. Dalam baris ke-3 dan 4 Dan dalam dadaku memerdu lagu menarik menari seluruh akukata ‘lagu’ dan ‘menari’ itu mengiaskan kegembiraan si aku karena bersanding (melihat) kekasihnya yang menggairahkan, yang bersandar pada tari warna pelangi, yaitu dalam keadaan yang sangat menyenangkan.

Dalam bait ketiga baris pertama: Hidup dari hidupku, pintu terbuka, mengiaskan bahwa ada jalan, ada harapan selama kekasih si aku masih cinta padanya, yang dikiaskan dengan Selama matamu bagiku menengadah. Ketika kekasih masih mau menengadah kepada si aku berarti masih cinta padanya. Selama engkau darah mengalir dari luka berarti selama kau masih hidup, masih dapat merasa sakit dan sampai kematian datang antara si aku dan kekasihnya tidak membelah, tidak bercerai. Semuanya itu merupakan “Sajak Putih”, yaitu pernyataan hati si penyair (sajak) yang diucapkan dengan tulus ikhlas (putih).

Kedua, penyimpangan arti. Penyimpangan arti terjadi apabila di dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Di dalam puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Misalnya dalam “Sajak Putih” Chairil Anwar bait ke-3 dan 4, baris-baris itu sesungguh-nya ambigu: Hidup dari hidupku, pintu terbuka selama mataamu bagiku menengadah. Ini dapat ditafsirkan dengan arti gandi bahwa hidup si aku akan selalu ada jalan keluar, ada harapan-harapan, atau kegairahan. Selama kekasihnya masih suka memandang dia, masih mencintainya, masih setia kepadanya, masih percaya kepadanya, masih menghendakinya, masih membutuhkan si aku, maka si aku akan tetap merasa hidup bergairah. Selama kau darah mengalir dari luka, Antara kita Mati datang membelah... itu dapat ditafsirkan bermacam-macam sesuai dengan arti kata dan kalimat yang terdapat di dalam ungkapan itu, misalnya: selama kau masih hidup, masih dapat merasakan sakitnya hidup, antara si aku dan kekasihnya tidak bertengkar, berselisih pendapat, dan juga tidak bercerai, maka si aku hidup penuh dengan harapan.

Di dalam wacana puisi juga terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir, sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Dalam puisi Indonesia, penyair Subagio Sastrowardoyo sering meng-gunakan ironi, misalnya pada puisi berjudul “Nyanyian Ladang” berikut.

Kau akan cukup punya istirah
Di hari siang. Setelah selesai mengerjakan sawah
Pak tani, jangan menangis

Kau akan cukup punya sandang
Buat menikah. Setelah selesai melunas hutang
Pak tani, jangan menangis.

Kau akan cukup punya pangan
Buat si ujang. Setelah selesai pergi kondangan.
Pak tani, jangan menangis.

Kau akan cukup punya ladang
Buat bersawah. Setelah selesai mendirikan kandang.
Pak tani, jangan menangis.
                   (Subagio Sastrowardoyo, “Nyanyian Ladang”)

Dalam wacana puisi tersebut si penyair seolah-olah menghibur pak tani, yang tampaknya serba kecukupan, tetapi sebenarnya hidupnya sangat sederhana dan sengsara. Seolah segala-galanya sudah cukup bagi pak tani: cukup istirahat, cukup punya kerja di sawah, punya sandang setelah lunas hutang, cukup punya pangan sesudah kondangan, cukup punya ladang buat bersawah. Kehidupan petani sesungguhnya sangat sederhana dan sengsara, sebab penyair banyak menggunakan ungkapan Kau akan.... di balik ungkapan Pak tani, jangan menangis terdapat ironi: pak tani harus menagis dalam keadaan menderita itu, dalam keadaan melarat, hidup penuh hutang, punya makan setelah pergi kondangan.

Penyimpangan arti di dalam wacana puisi juga dilakukan dengan nonsense. Nonsensemerupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosa kata, misalnya penggabungan dua kata atau lebih sepertisepisaupa, sepisaupi, terkekehkekeh-kekehkekehkekehkeh. Nonsense ini menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, menimbulkan suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu. Dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Pot”: potata potitu potkaukah potaku?; dalam puisi berjudul “Herman”: kakekkekkakakek. Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’, ‘pisau’, dan ‘sapa’ menjadi sepisaupa, sepisaupi, sepisapanya sehingga sapanya dalam sepi itu menusuk seperti pisau. Di situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga menjadi makna sepi seperti pisau menusuk. Ketika Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’ dan ‘pikul’, menjadi ‘sepikul dosa’, maka dosa itu betapa berat dan sepi mencekam—dosa itu menimbulkan derita seperti tusukan duri dan pisau.

Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre (1978:2) penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengor-ganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesung-guhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam wacana puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan puisi berjudul “Mari” (1981:25) karya Sutardji Calzoum Bachri yang penuh persejajaran bentuk dan arti oleh ulangan yang berturut-turut terjadilah orkestrasi dan irama. Orkestrasi ini menyebabkan liris dan konsentrasi. Hal ini adalah makna di luar kebahasaan.

mari pecahkan botolbotol
ambil lukanya
jadikan bunga
mari pecahkan tiktok jam
ambil jarumnya
jadikan diam
mari pecahkan pelita
ambil apinya
jadikan terang
mari patahkan rodaroda
kembalikan asalnya:
jadikan jalan
mari kembali
pada Adam
sepi pertama
dan duduk memandang
diri kita
yang telah kita punahkan
ada dan tiada
yang disediakan Adam pada kita
dan
mari berlari
pada siri kita
dan kembali menyimaknya
dengan keheranan Adam pada perjumpaan
pertama dengan dunia
(Sutardji Calzoum Bachri, “Mari”)

Wacana puisi termasuk ke dalam jenis wacana transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Wacana puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena wacana puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun wacana puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, wacana puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa wacana puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, wacana puisi merupakan wacana khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.
Wacana puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam wacana puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam wacana puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi. Misalnya wacana puisi “Pamflet Penyair” karya Rendra berikut ini praktis sama dengan penyairnya sendiri.

Inilah sajakku.
Pamflet masa darurat.
Apakah artinya renda-renda kesenian
Bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Kepadamu aku bertanya.
                  (Rendra, “Pamflet Penyair”)

Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari wacana itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Wacana itu sendiri dapat menyajikan fakta mengenai jenis kelaminnya, usia, wajah, dan pekerjaannya. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu. Kedua puisi berikut, misalnya, menampilkan wajah aku lirik yang berbeda.

Kami jalan sama. Sudah larut.
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental pekat. Aku tumpat-pedat.
               (Chairil Anwar, “Kawanku dan Aku”)

Kau menuding aku, aku menuding kau
kau dan aku menjadi satu
karna dindingku, karna dindingmu
dari mana kita, dunia  bersatu
              (Linus Suryadi AG, “Dinding-dinding Kota Yogya”)

Aku lirik di dalam wacana puisi menyapa seseorang, misalnya “engkau”, “kawan”, “-mu”, dan lain-lain.  Tidak hanya orang perorangan yang disapa oleh aku lirik, tetapi juga ide-ide tertentu, gejala-gejala, para dewa, angin, awan, samodera, sebuah kota. Dalam sapaan retorik aku lirik memang menyapa seseorang atau sesuatu, tetapi tidak mengharapkan jawaban. Ungkapan serupa itu disebut apostrof.

B. BAHASA KIAS DALAM PUISI
1. Pengertian Bahasa Kias
Secara tradisional, misalnya dalam wawasan Aristoteles, bahasa kias diartikan sebagai penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perban-dingan ataupun analogi semantis yang umum dengan yang khusus ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan atau analogi tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam meng-gambarkan citraan maupun gagasan baru. 

Pada bentuk bahasa kias Aku ini binatang jalang, misalnya, terdapat dua hal yang diperbandingkan, yakni “aku” dan “binatang jalang”. Pada perbandingan tersebut dapat ditemukan persamaan ciri semantis antara “aku” dan “binatang jalang”. Pada perbandingan ciri semantis yang umum, “aku” memiliki ciri semantis sebagai ‘makhluk’, demikian juga “binatang”. “Aku” mempunyai ciri semantis bernyawa, begitu juga “binatang”. Pada sisi lain, perbandingan itu juga merujuk pada ciri semantis yang khusus dengan yang khusus. “Aku” sebagai makhluk ‘berkesadaran’ sebagai ciri khusus manusia diperbandingkan dengan “binatang” yang secara khusus diberi ciri ‘jalang’. Perbandingan sebagai salah satu ciri umum dari bahasa kias antara lain dapat berbentuk metonimi, sinekdok, simile, ironis, dan metafora.

Bahasa kias, menurut Aminuddin (1995:234), umumnya terkait dengan (1) perbandingan atau penghu-bungan ciri dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap pengamatan realitas secara natural; (2) kesejajaran, hubungan secara tetap, maupun percampuran ciri dunia acuan secara tetap; (3) penggarapan medan ciri semantis kata-kata yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persepsi terhadap objek yang diacu kata-kata tersebut; dan (4) dunia pengalaman maupun konteks sosial budaya pembentuknya. Sebagai fakta penggunaan bahasa, bahasa kias tidak terwujud dalam bentuk siap pakai melainkan terbentuk melalui proses kreatif pemakainya. Proses kreatif tersebut secara esensial terkait dengan kreasi dalam membentuk gagasan, menghubungkan gagasan dengan kata-kata dan kongkretum yang dicitrakannya maupun potensi citraan itu dalam menuansakan pengertian-pengertian tertentu.

Berbeda dengan penggunaan bahasa kias dalam komunikasi sehari-hari yang sudah menjadi milik umum, bahasa kias dalam wacana puisi merupakan bahasa kias yang bersifat personal. Meskipun bersifat personal, penelusuran pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan penelusuran pema-haman bahasa kias yang umum. Hal itu disebabkan oleh karena bahasa kias dalam wacana puisi tentu merupakan kreasi batiniah penyair yang berhubungan dengan penuansaan gagasan, pencitraan, pengalaman kultural, dan konteks kewacanaannya.

2. Pemilahan Bahasa Kias
Bahasa kias dapat dibedakan menjadi tiga, yakni (1) metaforik, (2) metonimik, dan (3) ironik. Pertama, kiasan metaforik, yakni kiasan yang bertumpu pada adanya kesejajaran ciri citraan antara analogon dengan sesuatu yang dianalogikan. Kedua kiasan yang metonimik, yakni kiasan yang didasarkan pada hubungan eksternal antara kata yang digantikan dengan yang menggantikan secara tetap. Kesejajaran pada perbandingan yang metaforik merujuk pada kesejajaran persepsi suatu realitas. Sedangkan hubungan eksternal yang bersifat tetap merujuk pada hubungan antara dua kata yang ditinjau dari ciri semantisnya secara asosiatif memiliki hubungan semantis secara tetap.

Dalam metafora, dua objek atau pengertian diperbandingkan secara implisit. Dalam ucapan rumahku melindungi aku bagaikan sebuah benteng, rumah dibandingkan dengan sebuah benteng. Benteng disebut pembanding sedangkan rumah unsur yang dibandingkan. Kata penghubung “bagaikan” berfungsi sebagai mata rantai antara pembanding dan apa yang dibandingkan. Dalam ucapan tersebut motif tidak disebut secara eksplisit. Kita sendiri harus mencari aspek kemiripan antara rumah dan benteng, misalnya, ‘di samping aspek perlindungan dapat juga dibayangkan aspek kokoh-kuat’. Dalam bentuk metaforis, ungkapan tersebut dapat dinyatakan dalam ungkapan “rumahku bentengku” atau cukup “bentengku” saja.

Di dalam wacana puisi, metafora-metafora sering berbelit-belit. Ini antara lain disebabkan karena apa yang dibandingkan harus disimpulkan dari konteks. Misalnya ungkapan Lorong-lorong tidur yang tuli mengandung metafora ganda. Metafora ganda ini diuraikan dulu menjadi dua, yaitu ‘lorong tidur’ dan ‘lorong tuli’. Kemudian kita meneliti kata-kata itu menurut arti harfiah dan kiasan. Mengingat konteksnya, maka ‘lorong tuli’ rupanya dipakai menurut arti kiasan, sedangkan ‘tidur’ menurut arti harfiah. Kalau kita tinjau ‘lorong tuli’ tersendiri, maka ‘lorong’ dapat dianggap sebagai unsur harfiah, sedangkan ‘tuli’ sebagai sebuah metafora. Kemudian kita berusaha menetapkan apa yang diperbandingkan, artinya mencari kata-kata lain sebagai pengganti ‘tuli’ dan ‘lorong’ sehingga terjadi suatu ungkapan yang menurut arti harfiah mempunyai arti. ‘Lorong tuli’ mungkin bisa ditafsirkan sebagai lorong-lorong yang tertutup bagi kenyataan, seperti orang-orang tuli juga terpisah dari lingkungannya. ‘Lorong tidur’ dapat diartikan sebagai kawasan yang kita lintasi waktu tidur (bermimpi). Jadi apa yang dibandingkan ialah ‘bagian mimpi yang terpisah dari kenyataan’.
Pembedaan metafora dengan metonimi dalam beberapa kasus dapat ditentukan berdasarkan ciri hubungannya dengan kata yang diperbandingkan atau digantikan. Pada hubungan yang metaforis penentuannya dapat dilakukan dengan melihat karakteristik hubungan kemungkinan kata yang diperbandingkan secara paradig-matis. Pernyataan Berkakuan kapal di pelabuhan, misalnya, mengandaikan “kapal” secara paradigmatis dapat digantikan dengan kata “tubuh”, pernyataan itu dapat dikomposisikan menjadi “Berkakuan tubuh di pelabuhan”. Pernyataan yang metonimik hanya merujuk pada hubungan secara sintagmatis, dalam arti antara kata yang menggantikan itu tidak dapat membentuk hubungan secara paradigmatis.

Bentuk pernyataan yang juga digolongkan sebagai bahasa kias ialah ironi. Kata ironi berasal dari eiron yang berarti ‘penyembunyian’, ‘penipuan’, ‘pura-pura’. Dengan demikian pernyataan yang secara tersembunyi mengan-dung pengertian lain selain yang secara eksplisit dinyatakan merupakan ironi. Dalam ironi penyampaian pengertian secara tidak langsung itu dinyatakan melalui penggunaan kata/kata-kata yang ditinjau dari ciri semantisnya bertentangan atau mungkin memiliki acuan lain yang memiliki hubungan asosiatif. Bahasa kias yang ironik ini merupakan wujud pasemon dalam wacana puisi.

Pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi merupakan kegiatan ‘pemberian makna’ pada bentuk, citraan yang ditampilkan, gagasan yang dinuansakan, karakteristik hubungannya dengan unsur lain dalam satuan teksnya, dan kemungkinan efeknya bagi pembaca. Guna memperoleh gambaran mengenai bentuk bahasa kias, pembaca perlu membaca puisi secara keseluruhan. Melalui kegiatan membaca, pembaca selain memperoleh gambaran untaian isi puisi diharapkan juga dapat memperoleh gambaran kemungkinan segmentasi bahasa kias sesuai dengan satuan konstruksinya, hubungan antara satuan bahasa kias itu dengan unsur lain dalam satuan teksnya, hubungan makna kata-kata yang satu dengan yang lain secara asosiatif, sebaran penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi, dan karakteristik penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi.

Bahasa kias secara esensial berhubungan dengan (1) perbandingan maupun penghubungan ciri dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap hasil maupun peng-hubungan ciri realitas natural; (2) kesejajaran, hubungan secara tetap maupun percampuran ciri dunia acuan secara tetap; (3) penggarapan medan ciri semantis kata-kata yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persepsi terhadap objek yang diacu oleh kata-kata; (4) dunia pengalaman maupun konteks sosial budaya pembentuk-nya. Sebagai fakta penggunaan bahasa, bahasa kias tidak terwujud dalam bentuk siap pakai melainkan secara esensial terkait dengan kreasi pembentuknya.

SELAMAT BERKREASI UNTUK MENJADI DIRI YANG BERPRIBADI
Jambi, 16 April 2011

-------------------------------------

[] Dimas Arika Mihardja
Salah satu penyair terkemuka Indonesia. Lahir, di Pesisir Selatan Jogyakarta, 3 Juli 1959 dengan nama Prof. Sudaryono, ia mulai menyajak secara intens tahun 1980-an dan membukukan antologi sajak tunggal; Sang Guru Sejati (1991), Malin Kundang (1993), Upacara Gerimis (1994), Potret Diri (1997) yang semuanya diterbitkan oleh Bengkel Puisi Swadaya Mandiri. Sebagian besar sajaknya dipublikasikan di media massa lokal dan nasional, serta dibukukan dalam antologi bersama Riak-Riak Batanghari (Teater Bohemian, 1988), Percik Pesona 1 & 2 (Taman Budaya Jambi, 1992, 1993), Serambi 1, 2 & 3 (Teater Bohemian, 1992, 1993, 1994), Rendezvous (1993), Luka Liwa (1993), Pusaran Waktu (1994), Muaro (1995), Negeri Bayang-Bayang (1996), Mimbar Penyair Abad 21, Antologi Puisi Indonesia (1997), Angkatan 2000 (2000), Ketika Jarum Jam Lelah Berdetak (2003). Penyajak yang juga dosen Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi ini telah merampungkan Program Doktor (S3) dengan disertasi; Pasemon dalam Wacana Puisi Indonesia (2002). Beliau kini bermukim di Jambi.